Tanggal Dua Puluh
- Dyah Subagyo
- Aug 21, 2015
- 2 min read
Tanggal dua puluh itu akan selalu jadi tanggal yang paling berkesan, sekaligus paling kelabu. Ya. Tiap tanggal dua puluh, saya akan berkabung dalam hati. Berkabung yang lebih dalam daripada kabung hari-hari lainnya.
Sudah genap enam bulan sejak saya bilang dalam bahasa yang kita pahami berdua, "Goodbye, see you again someday." Kamu dan dua orang lainnya begitu baik membantu membawakan barang saya ke kereta yang akan membawa saya ke bandar udara. Saya masih ingat di tengah udara dingin, kamu membawakan ranselku yang berat itu. Saya masih ingat kata-katamu yang bilang mau menemani saya sampai Haneda.
Saya masih ingat perpisahan di platform itu. Saya bahkan tidak menangis karena kamu terus membuat suasana jadi tidak mungkin untuk menangis. Saya masih ingat dua cium pipi yang saya beri padamu curi-curi itu. Ya, tersembunyi. Saya rasa yang tahu saat itu cuma saya dan kamu. Satu di kiri, dan satu di kanan. Dan wajah kagetmu.
Saya masih sangat ingin berada di ruang yang sama denganmu. Kalau pada diagram Kartesian, kita ini garis yang pernah berpotongan sekali. Sebenarnya, saya mengharap bahwa kamu dan saya adalah fungsi yang sama, atau setidaknya yang memiliki banyak potongan. Jangan sampai kita merupakan dua fungsi yang cuma punya satu titik potong yang luasnya enam bulan sembilan hari.
Saya merindukanmu, seperti orang bodoh. Orang majnun. Orang gila. Tapi saya sayang padamu, hormat padamu, dan saya tidak ingin disebut, dikenal, dan dikasihani sebagai penguntit.
Tapi, ya itu. Saya berduka. Dan tiap tanggal dua puluh saya merayakan sedih yang paling sedih itu. Tatkala orang lain merayakan anniversary pacaran, nikahan, berdirinya himpunan dan perkumpulan, saya memperingati pedihnya berpisah darimu sampai jeda yang tak pasti.
Sekarang, saya dan kamu dipisahkan oleh Pasifik dan dua jam. Sebentar lagi, saya dan kamu akan ada di dua benua yang beda, dipisahkan Pasifik dan Atlantik serta lima jam.
Saya sayang benar padamu. Sekali lagi, saya harap kita bisa menjadi garis yang tidak hanya sejajar, namun saling berimpitan.
Jagalah diri kamu. Karena kasih sayang saya padamu bodoh, tolol, majnun, saya cuma harap kamu bahagia.
Yang namanya waswas dan cemburu sering muncul dalam hati saya. Mereka ada. Tapi kerelaan dan keinginan untuk kamu jadi bahagia juga ada dan lebih raksasa.
Jadi, my boy, stupid bronze-haired boy, be safe. Ini salam perpisahanku dari jauh untukmu yang empat hari lagi akan terbang dan berkereta pulang. Kamu, orang yang paling mengerti sekaligus tidak mengerti komposisi pendek ini.
Bandung, 20-08-2015





















Comments